Ketika angka kelahiran di Indonesia lebih tinggi dari angka kematian (per hari) itu berarti, setiap hari jumlah penduduk di Indonesia akan terus bertambah. Secara tidak langsung negara kita harus siap untuk menyediakan tempat tinggal, lapangan pekerjaan, pendidikan, dan layanan kesehatan bagi para penduduknya. Namun yang menjadi pertanyaan besar bagi kita adalah, "bisakah Indonesia menyeimbangkan laju pertumbuhan penduduk dengan pertumbuhan ekonomi dan dampak kerusakan lingkungan?"
Pada sensus penduduk tahun 2010, provonsi DKI jakarta memiliki kepadatan penduduk paling besar yaitu dengan jumlah penduduk 9.588.198 jiwa yang menghuni wilayah seluas 644 km^2. Ini berarti kepadatan penduduk di DKI Jakarta sebanyak 14.440 orang per km². (wikipedia)
Wow, dalam 1 km² di tanah Jakarta dihuni 14.440 orang. Pernahkan anda membayangkan? Bagaimana bentuk tempat tinggal mereka? Apakah dengan segitu padatnya bisa hidup dengan layak? Mungkin jawabannya akan 'iya' bagi mereka yang memiliki ekonomi yang mumpuni. Jawabannya akan 'tidak' bagi mereka yang kurang mampu.
Lantas apa saja yang terjadi terhadap lingkungan di kota padat penduduk?
Bagi orang yang mampu, mereka bisa membeli tempat tinggal di tempat-tempat yang layak (apartemen, atau perumahan). Namun bagi mereka yang kurang beruntung secara ekonomi, mereka harus rela mendirikan rumah di tanah yang teramat sempit. Inilah pemicu terbentuknya pemukiman kumuh di kota-kota dengan kepadatan penduduk yang tinggi.
Bahkan bagi mereka yang lebih tidak beruntung lagi, mereka akan memilih untuk mendirikan gubuk-gubuk di pinggiran sungai, di pinggir rel kereta api, atau bahkan di kolom jembatan. Itu semua bukanlah hal yang aneh jika kita menganalisa kondisi kota yang padat penduduk.
Pernahkah anda berfikir bagaimana rasanya hidup di lingkungan seperti itu? Pastinya akan ada banyak sekali penyakit yang bersiap untuk menyerang anda.
Sampah tersebut ternyata tidak hanya dihasilkan warga, menurut artikel yang diterbitkan kompas tumpukan sampat tersebut berasal dari sampah rumah tangga sebanyak 53 persen, sedangkan sisanya 47 persen dari sampah industri. Jadi industri yang pada dasarnya juga melakukan proses produksi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat ternyata juga menyumbang begitu banyaknya sampah.
Nah, kalau setiap harinya sampah yang di hasilkan sebanyak 6.500 ton, bagaimana jika jumlah tersebut dikalkulasikan selama satu minggu, satu bulan, satu tahun? Kita bisa membuat "Gunung Semeru" baru dari tumpukan sampah.
Berdasarkan artikel yang di muat di situs investor, bahwa dengan penduduk yang berjumlah sekitar 9,6 juta jiwa kebutuhan air bersih di Jakarta diperkirakan 29,6 m3/detik. Nah, pada tahun 2025 dengan asumsi jumlah penduduk Jakarta bertambah menjadi 14,6 juta jiwa maka kebutuhan air bersih pada saat itu akan mencapai 41,3 m3/detik.
Menurut artikel yang diterbitkan oleh tempo, pada tahun 2013 saja rata-rata sampah yang dibuang di sungai Jakarta sebanyak 180-200 ton sampah. Itupun ketika masih musim kemarau. Sedangkan di musim penghujan total volume sampah di seluruh sungai di Jakarta setiap harinya mencapai 240-280 ton per hari. Wajar ketika sungai-sungai di DKI Jakarta kedalamannya berkurang, karena sampah yang di hasilkan setiap harinya saja sebanyak itu.
Salah satu permasalahan yang harus diderita oleh kawasan padat penduduk adalah polusi udara. Tingginya tingkat pencemaran udara yang disebabkan meningkatnya jumlah populasi kendaraan bermotor yang menjadikan ancaman bagi warga Jakarta rentan terkena berbagai penyakit, seperti paru-paru, kanker, dan penyakit Infeksi saluran pernafasan atas.
Sebelum berbicara upaya pemerintah dalam mengatasi permasalahan yang timbul akibat kepadatan penduduk ini, coba pertanyakan diri kita terlebih dahulu. Sejauh mana partisipasi kita dalam upaya mengurangi kepadatan penduduk yang terjadi. Karena menurut pandangan saya pribadi, rasanya tidak adil jika membebankan semua permasalahan penduduk kepada pemerintah.
Nah, untuk itu disini saya memberikan solusi yang tentunya bisa berjalan ketika ada kerjasama masyarakat dan pemerintah untuk mengatasinya.
Program transmigrasi sebenarnya merupakan hal yang solutif juga. Hal ini bisa sedikit mengurangi kepadatan penduduk yang ada di pulau jawa. Saya terheran-heran ketika mengetahui ternyata sekitar 57% penduduk di Indonesia tinggal di Pulau Jawa. Yang menjadi pertanyaan saya adalah 'kenapa mereka tidak mau tinggal di pulau-pulau lain?'. Dan hal yang terlintas di kepala saya adalah pola pikir masyarakat, bahwa ketika mereka hidup di Jawa, maka mereka akan lebih sejahtera.
Kalau hal ini tidak ditindak lanjuti, maka akan percuma jika kita mencanangkan usia minimal pernikahan. Harusnya pemerintah bisa memberikan ketegasan misalkan denda administrasi kepada mereka yang menikah di bawah umur yang sudah ditentukan, misalkan untuk pria harus berusia 21 tahun, dan wanita harus berusia 19 tahun.
Kemudian pertisipasi masyarakat terhadap upaya mengurangi kepadatan penduduk juga terkadang terhambat dengan fasilitas yang diberikan. Misalkan fasilitas untuk mendapatkan informasi terkait apa yang harus dilakukan oleh masyarakat (kurangnya sosialisasi).
Sosialisasi dan pencerdasan KB terutama bagi kalangan laki-laki juga harus di galakkan. Hal ini merupakan upaya yang harus dilakukan mengetahui jumlah pria/suami yang mengikuti KB masihlah sangat kecil.
Seperti yang pernah saya baca di media online Tribunnews tentang biaya pernikahan, bahwa biaya nikah jika dilakukan di KUA adalah sebesar 50.000,- dan jika di lakukan di luar KUA serta di luar jam kerja dikenai biaya Rp 600 ribu. Nah, pemerintah bisa memberikan buku tantang kependudukan kepada pasangan pengantin ketika mereka membayar biaya pernikahan.
Kepadatan Jakarta dari angkasa | Sumber gambar viva.co.id |
Jika kita ingin mengetahui dampak dari pertumbuhan penduduk ini secara detail terhadap semua aspek kehidupan masyarakat, pembahasan akan hal ini akan menjadi sangat luas sekali. Karena pada dasarnya Masalah Kependudukan Di Indonesia sudah hampir kompleks. Nah agar tidak melebar, mari kita batasi untuk membahas pertumbuhan penduduk dan dampaknya terhadap lingkungan.
Kenapa Penduduk Di Kota Bisa Begitu Padat?
Kepadatan penduduk di kota lebih besar dari pada di desa. Itu logis. "Namun kenapa bisa demikian?", untuk hal ini, kita bokeh 'skeptis'.Mencari akar permasalahan adalah cara terbaik untuk menyelesaikan masalah. Untuk itu mari kita cari tahu alasan mengapa di kota lebih padat penduduk dari pada di desa.
- Pertama, urbanisasi. Hal utama penyebab urbanisasi adalah kurangnya lapangan pekerjaan yang ada di desa. Hal ini menyebabkan orang-orang desa pergi kota untuk mengadu nasib dan berharap bisa mengais rejeki dari kehidupan kota
- Kedua, pelajar yang mengambil 'study' tingkat lanjut. Mayoritas daerah masih belum memiliki perguruan tinggi dengan kualitas standar. Jadi para lulusan SMA berbondong-bondong untuk datang ke kota untuk melanjutkan study-nya. Nah, pelajar inipun ketika sudah lulus dan merasa hidup di kota lebih menjamin kemakmuran dirinya maka mereka pun akan memilih untuk hidup di kota. Karena kesempatan untuk bekerja lebih banyak kota dari pada di desa.
- Ketiga, adalah pertumbuhan penduduk dari selisih kelahiran dan kematian penduduk kota itu sendiri. Jika jumlah rata-rata kelahiran setiap harinya lebih banyak dari pada kematian, maka jumlah penduduk di kota ini pun akan terus bertambah.
- Keempat dan yang terpenting, menurunnya minat masyarakat terhadap KB. Mungkin hal ini sepele, namun ternyata program KB ini mampun menekan laju pertumbuhan penduduk di jakarta secara signifikan 0,17 %. Dan pada tahun 2000-2010, laju pertumbuhan penduduk di Provinsi D.K.I Jakarta mencapai 1,40 % per tahun. Bayangkan berapa kali lipat pertumbuhan penduduk di Jakarta hanya karena menurunnya minat KB di masyarakat.
Dampak Pertumbuhan Penduduk Terhadap Lingkungan Hidup
Jumlah penduduk di Indonesia khususnya di kota-kota besar terus mengalami peningkatan. Namun hal yang patut kita sadari bahwa tidak ada perluasan wilayah. Nah, hal ini berarti bahwa tanah hijau di kota-kota besar sedikit demi sedikit akan tergerus oleh pemukiman warga, perkantoran, tempat tempat niaga, dan industri.
Tuhan menyediakan alam semesta ini semata-mata untuk memenuhi kebutuhan manusia. Maka kita sebagai manusia sudah sepantasnya menjaga kelestarian alam agar kelak anak cucu kita masih bisa merasakan hidup di bumi ini dengan nyaman.
Pada sensus penduduk tahun 2010, provonsi DKI jakarta memiliki kepadatan penduduk paling besar yaitu dengan jumlah penduduk 9.588.198 jiwa yang menghuni wilayah seluas 644 km^2. Ini berarti kepadatan penduduk di DKI Jakarta sebanyak 14.440 orang per km². (wikipedia)
Wow, dalam 1 km² di tanah Jakarta dihuni 14.440 orang. Pernahkan anda membayangkan? Bagaimana bentuk tempat tinggal mereka? Apakah dengan segitu padatnya bisa hidup dengan layak? Mungkin jawabannya akan 'iya' bagi mereka yang memiliki ekonomi yang mumpuni. Jawabannya akan 'tidak' bagi mereka yang kurang mampu.
Lantas apa saja yang terjadi terhadap lingkungan di kota padat penduduk?
#1. Pemukiman (Terbentuknya pemukiman kumuh)
Ini merupakan masalah paling utama yang dihadapi jika terjadi peledakan pertumbuhan penduduk. Pemukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Maka dari itu, manusia harus memenuhi kebutuhan ini sebelum melirik ke kebutuhan-kebutuhan lainnya.Bagi orang yang mampu, mereka bisa membeli tempat tinggal di tempat-tempat yang layak (apartemen, atau perumahan). Namun bagi mereka yang kurang beruntung secara ekonomi, mereka harus rela mendirikan rumah di tanah yang teramat sempit. Inilah pemicu terbentuknya pemukiman kumuh di kota-kota dengan kepadatan penduduk yang tinggi.
Bahkan bagi mereka yang lebih tidak beruntung lagi, mereka akan memilih untuk mendirikan gubuk-gubuk di pinggiran sungai, di pinggir rel kereta api, atau bahkan di kolom jembatan. Itu semua bukanlah hal yang aneh jika kita menganalisa kondisi kota yang padat penduduk.
Pernahkah anda berfikir bagaimana rasanya hidup di lingkungan seperti itu? Pastinya akan ada banyak sekali penyakit yang bersiap untuk menyerang anda.
#2. Sampah dan Limbah Pabrik
Pernahkah berfikir kemana larinya sampah yang anda hasilkan setiap hari. Kira-kira ada berapa banyak jumlah sampah yang anda hasilkan? Di Jakarta, setiap harinya menghasilkan sampah sebanyak 6.500 ton per hari (sumber). Nah, sekarang coba bayangkan jumlah sampah yang dihasilkan secara kolektif di dalam satu provinsi DKI Jakarta. Misalkan satu container bisa memuat 6-8 ton sampah, ada berapa container sampah yang dihasilkan setiap harinya?Sumber gambar : Merdeka.com | ©2013 Merdeka.com/imam buhori |
Sampah tersebut ternyata tidak hanya dihasilkan warga, menurut artikel yang diterbitkan kompas tumpukan sampat tersebut berasal dari sampah rumah tangga sebanyak 53 persen, sedangkan sisanya 47 persen dari sampah industri. Jadi industri yang pada dasarnya juga melakukan proses produksi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat ternyata juga menyumbang begitu banyaknya sampah.
Nah, kalau setiap harinya sampah yang di hasilkan sebanyak 6.500 ton, bagaimana jika jumlah tersebut dikalkulasikan selama satu minggu, satu bulan, satu tahun? Kita bisa membuat "Gunung Semeru" baru dari tumpukan sampah.
#3. Ketersediaan Air Bersih
Disadari ataupun tidak, air bersih merupakan kebutuhan penduduk yang mau tidak mau harus di penuhi. Air bersih biasanya dimanfaatkan untuk warga untuk memasak, mandi cuci pakaian, dan sebagainya. Nah, selama ini persediaan air bersih di kota-kota besar dipenuhi oleh PDAM. Namun jikalau terjadi ledakan pertumbuhan penduduk, pertanyaannya "apakah PDAM mampu memenuhi kebutuhan air bersih di kota-kota besar?"Berdasarkan artikel yang di muat di situs investor, bahwa dengan penduduk yang berjumlah sekitar 9,6 juta jiwa kebutuhan air bersih di Jakarta diperkirakan 29,6 m3/detik. Nah, pada tahun 2025 dengan asumsi jumlah penduduk Jakarta bertambah menjadi 14,6 juta jiwa maka kebutuhan air bersih pada saat itu akan mencapai 41,3 m3/detik.
#4. Masalah Banjir
Banjir sudah menjadi suatu hal yang rutin dialami oleh kota-kota besar. Banyak sekali faktor yang menyebabkan banjir ini terjadi. Beberapa diantaranya adalah berkurangnya daerah resapan air yang berubah menjadi perumahan atau kawasan niaga, rumah-rumah di pinggiran sungai yang membuat lebar sungai menjadi semakin menyempit, dan juga masalah sampah yang dibuang di sungai sehingga membuat kedalaman sungai menjadi berkurang.Menurut artikel yang diterbitkan oleh tempo, pada tahun 2013 saja rata-rata sampah yang dibuang di sungai Jakarta sebanyak 180-200 ton sampah. Itupun ketika masih musim kemarau. Sedangkan di musim penghujan total volume sampah di seluruh sungai di Jakarta setiap harinya mencapai 240-280 ton per hari. Wajar ketika sungai-sungai di DKI Jakarta kedalamannya berkurang, karena sampah yang di hasilkan setiap harinya saja sebanyak itu.
#5. Polusi Udara
Polusi Udara di Jakarta | Sumber gambar tribunnews.com |
Upaya Mengatasi Permasalahan Tersebut
Sebelum berbicara upaya pemerintah dalam mengatasi permasalahan yang timbul akibat kepadatan penduduk ini, coba pertanyakan diri kita terlebih dahulu. Sejauh mana partisipasi kita dalam upaya mengurangi kepadatan penduduk yang terjadi. Karena menurut pandangan saya pribadi, rasanya tidak adil jika membebankan semua permasalahan penduduk kepada pemerintah.
Nah, untuk itu disini saya memberikan solusi yang tentunya bisa berjalan ketika ada kerjasama masyarakat dan pemerintah untuk mengatasinya.
#1. Pemerataan Penduduk Dan Pemerataan Sektor Ekonomi
Banyak masyarakat yang menjajal peruntungan untuk mengais rejeki di kota-kota besar khususnya di Pulau Jawa beralasan bahwa tidak adanya lapangan kerja di daerah mereka. Nah berarti walau penduduk sudah merata pun, ketika di daerah mereka tidak ada lapangan pekerjaan, maka tetap saja mereka akan mencari nafkah di kota-kota besar. Akhirnya kepadatan penduduk akan menumpuk disana.Program transmigrasi sebenarnya merupakan hal yang solutif juga. Hal ini bisa sedikit mengurangi kepadatan penduduk yang ada di pulau jawa. Saya terheran-heran ketika mengetahui ternyata sekitar 57% penduduk di Indonesia tinggal di Pulau Jawa. Yang menjadi pertanyaan saya adalah 'kenapa mereka tidak mau tinggal di pulau-pulau lain?'. Dan hal yang terlintas di kepala saya adalah pola pikir masyarakat, bahwa ketika mereka hidup di Jawa, maka mereka akan lebih sejahtera.
#2. Ketegasan Pemerintah Terhadap Usia Minimum Pernikahan
Ini adalah sebuah ironi yang saya saksikan sendiri di desa tempat saya tinggal. Bahwa kebanyakan teman-teman sekolah saya khususnya perempuan, mereka lebih memilih untuk langsung menikah setelah lulus dari bangku sekolah. Bahkan, ketika usianya kurang dari usia minimum untuk menikah, mereka memilih untuk menuakan umurnya.Kalau hal ini tidak ditindak lanjuti, maka akan percuma jika kita mencanangkan usia minimal pernikahan. Harusnya pemerintah bisa memberikan ketegasan misalkan denda administrasi kepada mereka yang menikah di bawah umur yang sudah ditentukan, misalkan untuk pria harus berusia 21 tahun, dan wanita harus berusia 19 tahun.
#3. Standarisasi Fasilitas Pendidikan Dan Fasilitas Publik
Sebagian orang berpendapat bahwa kualitas pendidikan di Jawa lebih baik jika dibandingkan kualitas pendidikan di Luar Jawa. Kalau hal tersebut sudah menjadi rahasia umum, kenapa pemerintah tidak mengambil sebuah tindakan untuk melakukan standarisasi Fasilitas Pendidikan di Luar Jawa? Hal yang pertama harus dibangun dalam struktur bangunan seperti rumah adalah pondasi. Sama halnya dengan membangun sebuah negara yang kuat, kita juga harus memberi pondasi yang kuat di seluruh sisinya. Pondasi tersebut adalah pendidikan untuk warganya. Apakah sebuah bangunan akan kuat ketika pondasi yang kuat hanya di satu sisi saja (Pulau Jawa), sedangkan di sisi lainnya lemah?Kemudian pertisipasi masyarakat terhadap upaya mengurangi kepadatan penduduk juga terkadang terhambat dengan fasilitas yang diberikan. Misalkan fasilitas untuk mendapatkan informasi terkait apa yang harus dilakukan oleh masyarakat (kurangnya sosialisasi).
#4. Sosialisasi KB Khususnya Untuk Pria
Sosialisasi KB ini akan lebih efektif ketika pemerintah khususnya BKKBN bekerjasama dengan komunitas-komunitas yang ada di setiap daerah. Misalkan saja sosialisasi dengan masuk ke komunitas pengajian yang ada di desa-desa, atau ibu-ibu PKK, komunitas arisan, atau di dalam perkumpulan-perkumpulan lainnya. Cara ini bisa efektif jika dirasa sosialisasi door to door dianggap sangat memberatkan.Sosialisasi dan pencerdasan KB terutama bagi kalangan laki-laki juga harus di galakkan. Hal ini merupakan upaya yang harus dilakukan mengetahui jumlah pria/suami yang mengikuti KB masihlah sangat kecil.
#5. Buku Tentang Kependudukan Yang Diberikan Saat Nikah
Masyarakat tidak tahu bahaya ledakan jumlah penduduk dikarenakan keterbatasan fasilitas untuk mengakses informasi terkait hal tersebut. Saya mempunyai sebuah gagasan agar BKKBN bekerja sama dengan KUA atau instansi lain untuk memberikan hadiah pernikahan sebuah buku tentang kependudukan kepada pengantin.Seperti yang pernah saya baca di media online Tribunnews tentang biaya pernikahan, bahwa biaya nikah jika dilakukan di KUA adalah sebesar 50.000,- dan jika di lakukan di luar KUA serta di luar jam kerja dikenai biaya Rp 600 ribu. Nah, pemerintah bisa memberikan buku tantang kependudukan kepada pasangan pengantin ketika mereka membayar biaya pernikahan.
No Comment to " Permasalahan Lingkungan Di Kota Padat Penduduk "