Update :

Artikel Terbaru
Browsing Category "Politik"

Pemilu Presiden 2014 (Dimata Saya)

- Saturday, June 28, 2014 No Comments
Pesta demokrasi, begitulah orang-orang menyebut pemilihan presiden dan anggota legislatif bangsa ini yang kita lakukan 5 tahun sekali. Ada orang yang memilih, maka ada orang yang mengambil posisi untuk dipilih. Keduanya memang mempunyai peranannya masing-masing. Ada yang menang, ada juga yang harus menerima bahwa dalam pemilu kali ini harus pulang kerumah dengan hasil yang kurang memuaskan.

Sumber Gambar : kemendagri.go.id
Kita hidup di negara demokrasi, berarti semua hal di dasarkan pada kehendak rakyat. Begitulah, namun sangat disayangkan ketika rakyat hanya digunakan sebagai objek pemilu. Suaranya diperebutkan ketika pemilu, namun kesejahteraannya dilupakan setelah mereka sudah menang dalam pemilu. Begitulah pemerintah kita selama ini.

Kesempatan Menjadi Calon Presiden?


Kadang saya bermimpi untuk menjadi seorang presiden, namun sepertinya hal tersebut sangat jauh dari kenyataan saat ini. Saya hanyalah seorang rakyat biasa, dan dilahirkan dari keluarga petani, tepatnya buruh tani, karena orang tua saya tidak punya sawah sendiri untuk digarap. Kalau saya jadi calon presiden, apakah saya pantas ketika diurut dari silsilah keluarga saya? Mayoritas pasti menjawab "Tidak"

Pertanyaan dalam hati saya kemudian, "Bukankah semua warga negara memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih?". Seharusnya begitu, namun masyarakat sendiri pasti tidak akan mau memiliki pemimpin yang memiliki latar belakang "anak seorang petani".

"Namun apakah kita hanya melihat atas dasar latar belakang keluarga?"

Kalau menurut saya, pendangan tersebut sungguh sangat sempit sekali. Karena seharusnya kita sudah berbicara mengenai ide dan gagasan kita. Selain itu, kita juga harus mengukur bagaimana kemampuan kita untuk mewujudkan ide dan gagasan tersebut menjadi sebuah kenyataan. Bukan memamerkan janji selangit tanpa memikirkan apakah kita mampu untuk melaksanakannya.

Pandangan Usang Masyarakat Kita


Saya sudah beberapa kali menjadi seorang "surveyor lapangan" dalam rangka penelitian tentang presepsi masyarakat menjelang pemilu 2014. Kesempatan itu saya manfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk berbicara dan menggali informasi sebanyak-banyaknya dari masyarakat mengenai pemilu.

"Dan tahukan anda, presepsi (mayoritas) masyarakat ketika mendengar kata (Pemilu) itu selalu negatif?"

Begitulah yang saya rasakan ketika menjadi team surveyor dari salah satu lembaga survey di Indonesia. Mulai dari pemilu legislatif, sampai dengan pemilu presiden, tanggapannya tak jauh berbeda. Sepertinya memang politik sudah menjadi hal yang tabu bagi masyarakat kita.

Yang paling parah adalah ketika pemilu legislatif yang lalu. Mayoritas masyarakat bilang kepada saya ketika mereka saya tanyai akan memilih caleg yang mana (sambil memperlihatkan kertas replika surat suara calon legislatif). Tahu apa yang mereka katakan?

"Kene iku wong cilek mas, nggak ngerti opo-opo. Dadi yo milih calon sing menehi duwit"

Artinya : Kita ini orang kecil mas, nggak tahu apa-apa. Jadi ya kita memilih calon mana yang memberikan uang.

Saya membayangkan, jika semua masyarakat kita berfikiran seperti itu, mau jadi apa bangsa ini. Satu lagi, apakah esensi dari pemilu bisa tercapai jika rakyat berfikiran seperti itu? Saya yakin anda bisa menyimpulkannya sendiri.

Coba kita sedikit "skeptis", dari mana uang yang diberikan para calon legislatif untuk menang dalam pemilihan? dan coba kita sambungkan dengan pertanyaan selanjutnya, "Apakah mereka mau dengan cuma-cuma mengeluarkan uang tanpa berkeinginan untuk mendapatkannya kembali dari uang negara?"

Menjelang Pemilu Presiden 2014


Saya sedikit sedih dan kecewa dengan semua pihak yang terlibat dalam pemilu presiden 2014 ini. Pasalnya, semua berlomba-lomba untuk membabi buta berkampanye. Namun, banyak pihak yang sudah melebihi batas kewajaran dalam berkampanye (black campaign dan negative campaign).

Jika dalam berkampanye saja sudah menggunakan cara yang negatif, maka saya yakin ketika memimpin pun akan timbul hal-hal yang berbau negatif. Saya yakin suatu saat masyarakat akan mengetahui, mana yang buruk dan mana yang baik. Mana yang pantas dipilih dan mana yang tidak pantas dipilih. Dan saya juga yakin, sudah banyak yang mampu menganalisa mana yang harus mereka percaya menjadi pemimpinnya.

Intinya, suara kita dalam pemilu presiden 9 Juli 2014 nanti akan sangat berpengaruh dengan nasib bangsa Indonesia 5 tahun ke depan. Jadi, kita harus benar-benar bijak dalam menentukan pilihan kita. Jangan sampai kita menyesal setelah calon presiden yang kita pilih ternyata tidak sesuai apa yang terlihat ketika kampanye. Karena ada juga pemimpin hasil polesan salon. Jadi terlihat apik "hanya ketika berkampanye".

Dan yang terakhir dan paling penting, besok tanggal 9 Juli 2014, datanglah ke TPS. Gunakanlah hak suara anda sebagai warga negara. Jangan lupa pula untuk ikut serta berpartisipasi dalam pelaksanaan pemungutan suara. Karena kecurangan bisa terjadi dimana saja, bahkan di tempat yang tak pernah kita duga sebelumnya.

Koalisi, Berujung Politik Dagang Sapi

- Friday, May 9, 2014 No Comments
Sebentar lagi kita akan memilih orang nomor satu yang akan memimpin Indonesia. Orang yang lima tahun kedepan akan memegang kekuasaan pemerintahan di Indonesia. Kamu sudah punya calon? Mungkin kalau kamu udah sering melihat media-media online yang gencar memberitakan tentang pilpres 2014, kamu bakalan menemui dua nama besar, antara bapak Joko Widodo dan juga bapak Prabowo Subianto.

Ilustrasi Politik Dagang Sapi | Sumber : portaldki.com

Siapa pun jagoanmu, saya harap jangan saling bermusuhan. Jangan mengorbankan persaudaraan hanya karena pandangan politik yang berbeda. Semua boleh saja mempunyai pilihan, namun setidaknya pilihan tersebut harus didasarkan pada hati nurani (upsss....).

Seperti halnya beberapa perbincangan politik yang sedang hangat saat ini. Setelah mengetahui hasil akhir dari rekapitulasi perhitungan suara nasional, partai politik akan membentuk sebuah koalisi untuk memenangkan salah seorang calon. Siapa berkoalisi dengan siapa, dan siapa yang akan menjadi rival politiknya.

Hal Yang Perlu Kamu Perhatikan


Koalisi memang hal yang sah-sah saja. Namun pada umumnya dari koalisi inilah awal politik dagang sapi muncul. Misalkan partai A berkoalisi dengan partai B untuk mendukung calon presiden yang di usung oleh partai A. Tentunya partai B tidak akan mau rugi dengan kesepakatan koalisi ini. Pihaknya pasti akan meminta 'jabatan' paling tidak menteri jika calon dari partai A menang.

Partai A : "Bos, gimana? Siap untuk dikerahkan suaranya kan?"
Partai B : "Santai saja lah, semua dijamin aman. Kita mendukung dari belakang. Tapi jangan lupa ya, kasih dua."
Partai A : "Dua apa nih bos, ane kagak paham"
Partai B : "Dua kursi lah, masak dua meja"
Partai A : "Tenaaaang kalau itu... nanti saya pesankan kursi ukir langsung dari Jepara. Jangankan dua, lima aja saya kasih asalkan saya bisa menang"
Partai B : #2@..?

Saya kira hal tersebut sudah menjadi sebuah rahasia publik dengan jargon "Sama-sama tahu lah". Partai yang mendapatkan suara kecil pasti akan obral sana sini agar mereka mendapatkan kursi di pemerintahan. 

Namun ada satu hal yang saya sampaikan, politik dagang sapi seperti ini mempunyai effect yang sangatlah buruk di pemerintahan. Bagaimana tidak, mereka yang akhirnya diajukan sebagai orang yang duduk di kursi tersebut merupakan orang yang tidak tepat. Mungkin bahasanya kurang pas, tapi apa ya yang pas? Pokoknya itu lah..

Saya kasih sedikit contoh nih ya, misalkan saya adalah ahli hukum, namun saya diajukan oleh partai yang saya ikuti sebagai menteri ESDM. Nah, apa yang terjadi? Saya tidak berkompeten di bidang itu, tapi saya disuruh jadi menteri, ya akhirnya "yang penting bapak senang lah".

Bagaimana Seharusnya?


Kalau saya boleh berkomentar sedikit mengenai hal ini, seharusnya kursi menteri jangan melulu orang-orang yang dari parpol. Masih banyak orang di luar parpol yang lebih berkompeten kok. Memilih menteri yang profesional di bidangnya akan sangat lebih menguntungkan. Soalnya mereka tahu apa yang harus mereka lakukan untuk membuat Indonesia lebih baik. Kalau dari "Politik dagang sapi"? Paling ya cuma mikirin harga sapinya.

Setidaknya saya masih berharap pada kondisi yang "ideal" walaupun teramat sangat sulit dilakukan di negeri ini. Namun, kalau tidak dicoba untuk memulai, kapan lagi? Kita pasti tahu lah, "semakin banyak koalisi maka semakin banyak sapi yang dijual"